Banner 468x60

Kamis, Juli 31, 2008

Menggarap Cinta Dengan Lebih Advance

Mengonstruksi Resurrection, album yang Merajut kembali Java Jive. Band ini butuh reuni, dan butuh semangat kebangkitan. Ketika percikan semangat muncul kembali, mereka tampil lagi sebagai pria-pria matang, menyimak The Killers, dan Suede, lalu bercerita bagai Casanova tentang perasaannya, juga dengan lebih matang.

Photobucket

Bagi Anda yang melewati masa remaja di dekade 90-an, tentu saja Java Jive tak luput mewarnai kisah romansa ABG di jaman itu. Dan ketika saat ini banyak band yang seakan berlomba menciptakan lirik cinta, justru band asal Bandung ini sudah jauh lebih dulu menciptakan untaian kata yang tak kalah mengiris hati. Sayangnya, sejak album keempat di tahun 1999, IV, mereka seolah seperti kehilangan arah-membuat eksistensinyanya semakin terancam.

Kehadiran mereka kembali - melalui dua album kompilasi tahun 2003 dan 2007, dengan hits-hits terdahulu, “Kau Yang Terindah”, “Permataku”, dan “Gerangan Cinta” - tak mampu mengobati kerinduan secara sempurna. Jeda waktu 9 tahun tanpa materi album yang segar itu memang diakui oleh Dany Spreet, vokalis bersuara melengking, menjadi sikap yang tidak bertanggung jawab pada kehidupan sebagai pemain musik.

Photobucket
foto: Pondra

Tahun 2007 menjadi sebuah momen bersejarah bagi Java Jive setelah tidur panjangnya. “Kini kami merasa lebih nge-band karena keenam personel benar-benar terlibat dalam penggarapan setiap lagu. Kebersamaan lebih terasa dibanding sebelumnya”, ujar Noey, pemain bass Java Jive. “Kita pun sering berkumpul untuk workshop dan brainstorming sehingga timbul semangat yang selama ini hilang. Setelah itu mengalir saja. Lagu-lagu pun datang dengan sendirinya”, Dany menambahkan.

Album kelima mereka ini tetap menggambarkan ciri khas Java Jive lewat 11 lagu bertemakan cinta yang masih tetap mengemuka. “Tapi lebih melebar. Misalkan tentang perselingkuhan, tapi disampaikannya tidak dengan ‘kamu kok selingkuh…’. Ada siasat dan penjabarannya agar jadi lebih indah,” jelas Dany. “Perselingkuhan yang lebih advance”, sahut Edwin seraya tertawa. Unsur modern ikut pula dimasukkan seiring perjalanan musikalitas mereka. Pengaruh U2, Keane, The Killers, dan Suede makin memperkaya konstruksi musik mereka agar bisa diterima oleh para fans baru yang masih remaja tanpa mengacuhkan pengaruh band-band lawas yang juga sempat mereka nikmati, seperti Duran Duran dan INXS.

Jenis lagu yang ditawarkan dalam album ini terasa amat bervariasi mulai dari yang bernuansa rock & roll ala Suede, jazzy, hingga dance. Hal baru juga terlihat dari munculnya satu lagu berbahasa Inggris berjudul “Stay Gold” yang bercerita tentang perlunya seseorang untuk hidup di jalan yang benar dan menjadi orang baik di tengah masyarakat. “Pas kita melihat Nidji, ternyata lagu bahasa Inggris bisa dinikmati di sini. Makanya kita buatlah ‘Stay Gold’ ini”, ungkap Dany.

Awalnya, judul album yang mereka siapkan adalah Resurrection karena album ini mereka anggap sebagai tonggak kebangkitan Java Jive. Edwin merasa bahwa setelah menemukan ‘klik’-nya itu, ada kerinduan untuk berkumpul kembali. Dany mengakui bahwa sikap toleransi selama ini telah menyelamatkan keutuhan mereka. “Toleransi berkembang bukan jika tidak menyukai sesuatu, tapi harus mengorbankan perasaan kita. Untuk bisa seperti itu, kita perlu mengalami proses yang panjang untuk saling mengerti. Ini toleransi berkarya, bisa mewujudkan sesuatu yang lebih kreatif dan positif.” sambungnya.

(ditulis bersama Pondra Novara 'Amazing In Bed' dan Dimas Wahyu)

Tidak ada komentar: