Banner 468x60

Kamis, Mei 21, 2009

Pop Melankolis

Tren musik Indonesia yang saat ini didominasi oleh band-band pop melankolis, sebagian menyebutnya pop melayu, memang menimbulkan perdebatan banyak pihak yang merasa musik Indonesia sedang dalam keterpurukan. Apakah musik kita sedang mengalami kemunduran?
Hal menarik ditulis oleh Adib Hidayat dalam sebuah milis:

Steve Knopper dalam Appetite For Sekt Destruction menulis tentang "the spectacular crash of the record industry in digital age." ini ancaman sangat serius.
Saat napster muncul dulu langsung diprotes. Napster ditutup. Padahal masa depan ada di digital.ini yang lupa diantisipasi. Dari Inggris, Virgin yang dibeli Zavi sudah mulai tutup. Layoff sekitar 2000 orang di Inggris Raya dan Irlandia dari semua cabang Zavi. Tower dan SamGoody sudah lama tamat di US. Jika di negeri kita ancaman adalah bajakan fisik. Maka diluar adalah bajakan digital lewat Internet. Dengan ketik di google album apa yang kita mau semua tersedia. Bahkan Ada yang versi demo. Siapa yang membocorkan. Ada banyak hal. SPIN pernah mengurai dari mana bajakan itu bisa terjadi. Ada yang kecerobohan pas produksi, studio, mixing, mastering, bahkan media yang menerima dari artis atau manajemen. Packaging kemudian banyak di kelola oleh label dan artis diluar sana untuk mensiasati jualan fisikal yang tamat. Namun pasar masih ada. Membuat versi limited version dengan bonus DVD, demo version, buku, materi live jadi alternatif. Para kolektor yang disasar. Ada juga ide brilyan merilis gratisan. Namun saat rilis fisikalnya malah terjual gila. Ini terjadi pada Radiohead dan Nine Inch Nails. Di indonesia sedang kembali ke era 70'-an. Trend sedang mengarah ke Musik pop melankolis. Minggu lalu ketemu Erwin Gutawa dan Fariz RM bahwa musik saat ini sewarna saat band seperti D'lloyd, Panbers dan sebagainya. Ini siklus. Cuma bedanya mungkin di wilayah skill. Jika dahulu musisi benar-benar manual menguasai alat. Maka musisi
sekarang banyak yang memanfaatkan jurus-jurus bermodal reffrain catchy dan hook yang kuat. Media memberi support. TV terutama memberi ruang lebih. "I don't care with quality right now!" kata Mas Duto yang pegang Musik di SCTV. Ini tentu banyak faktor yang membuat Mas Duto dan SCTV kemudian sangat welcome dengan ragam genre musik. Positifnya, band besar dan band baru punya peluang sama. Lagu adalah kunci. Band-band pop melankolis Bukan menghasilkan karya yang jelek. Jujur
sebuah karya itu pasti memiliki tingkat penciptaan yang serius dari
yang membuatnya. Munculnya ragam handphone dan MP3 player murah menjadi makin membunuh penjualan fisikal. Jika dahulu Musik disimak di tape recorder atau
audio set sekarang lebih nyaman mendengar di handphone masing-masing. Semua kalangan sudah bisa memiliki perangkat ini. Dari yang naik Mobil build up sampai pembantu Rumah tangga di berbagai pelosok. Daripada membeli CD/kaset lebih baik membeli pulsa. Lagu bisa dibeli murah untuk disimpan di handphone. Jangan salahkan label jika jarang merilis album. Single sekarang menjadi jawaban. Masih bisa dipromosikan di radio, dibuatkan video klip, tayang di TV, main lip sync di semua TV di jam prime time, dan ada 30 detik yang dipotong buat cari hook yang paling catchy buat RBT. Konser menjadi masukan yang signifikan buat band atau artis. Jangan
salahkan label jika mereka membuka pintu manajemen artis. Dicari jalan
tengah untuk ketemu titik temu. "Kondisi lagi seperti ini. Kita musisi kudu adaptasi. Tetap kreatif dan berkarya bagus," kata Dewa Budjana. Harusnya ini juga disikapi oleh Musisi yang lebih senior dan menutup ruang atau membuat jarak dengan
band baru pop melankolis tadi. Ini semua sebuah bisnis. Tidak ada Bisnis yang seperti Bisnis showbiz. Semua bisa terjadi. Tinggal kita yang bisa main cantik. Kata Efek Rumah Kaca "trend bisa diciptakan". Namun bisa juga muncul antitesis: "trend tidak bisa dipaksakan."
Memang tidak ada yang bisa disalahkan terciptanya trend seperti ini. Justru kita boleh berbangga karena punya ciri khas musik pop dibanding lainnya. Yang tidak suka, terserah. Kembali ke selera masing-masing, karena bagaimanapun dalam sebuah bisnis, pasarlah yang menentukan :).

Tidak ada komentar: