Banner 468x60

Rabu, Juli 30, 2008

Padat dan Memilukan

Sore - Ports Of Lima

SORE
Ports Of Lima
Aksara Records

Setelah mendengarkan keseluruhan materi Ports Of Lima, album kedua SORE, saya kembali dibuat takjub dan mengagumi sambil bertanya-tanya, bagaimana mereka bisa menciptakan musik cerdas seperti ini. Debut album Centralismo di tahun 2005 saja sudah mengagumkan. Mereka berhasil menempatkan diri di jajaran teratas sebagai band indie berkualitas tinggi.

Album ini dirilis terlambat dengan alasan harus mengantri di belakang mini album White Shoes And The Couples Company, soundtrack Quickie Express, dan Brandalisme-nya The Brandals. Alih-alih, setelah beberapa kali pengunduran jadwal perilisan sejak tahun 2007, Ports of Lima muncul dengan kejutan tak terduga. Artwork sampulnya khas poster film dengan booklet berisi naskah cerita thriller pendek. Di album ini, lirik setiap lagu disempalkan di tengah-tengah adegan. Lalu, tokoh-tokohnya diperankan oleh mereka sendiri.

Dibandingkan dengan album pertama, Ports Of Lima lebih padat. Saya pun harus berulang kali memutar track demi track untuk dapat menikmatinya dengan baik. Mungkin ini sesuai dengan apa yang mereka ucapkan bahwa Ports Of Lima adalah bentuk pembebasan eksplorasi karakter masing-masing personil. Maka, di sini, albumnya memperlihatkan kematangan musikalitas mereka. Kelima personil SORE pun lagi-lagi menyumbangkan vokal seperti di Centralismo.

“Ernestito”, yang didedikasikan Ade Paloh untuk sang buah hati, terdengar paling mudah dinikmati. Atau mungkin karena pengenalan lagu ini sudah lebih lama karena berkat film Quickie Express? Entahlah. Lalu, lagu “Bogor Biru” menjadi sebuah bentuk kekaguman terhadap kesenduan kota hujan yang terkesan berjalan lambat dan penuh aura romantisme. Saya pun terhanyut dalam aura kepedihan ketika mendengarkan “Merintih Perih”. Belum lagi, ada tambahan koor yang semakin menambah ‘perih’.

Dukungan dari beberapa musisi pendukung semakin menambah kekayaan materi lagu. Ada Tika, Andi Riyanto, Aghi Narottama (Apeontheroof), dan Ario Hendrawan (The Adams) Juga, bantuan iringan dari string section.

Rangkaian kejutan pun terjadi. Tenor saksofon Indra Aziz di lagu “In 1997 The Bullet Was Shy” direkam di dalam kamar mandi, sehingga tercipta pula gaung alami. Selain itu, pemilihan khusus untuk suara siulan di lagu “Apatis Ria” harus dilakukan oleh Lens TerWee dari The Miskins, yang juga orang Eropa, yang dianggap lebih berkarakter daripada siulan orang Timur.

(tulisan ini diedit oleh Dimas Wahyu)

Tidak ada komentar: